Sebagai salah seorang Muslimah Indonesia yang berjilbab (berkerudung), tentu saya akan merasa sangat berbahagia bilamana banyak perempuan Islam Indonesia lainnya yang kemudian turut berkerudung. Namun ketika kerudung kemudian menjadi ajang cemooh dan olok oleh karena salah seorang kader dari salah satu partai menengah Indonesia yang menjadi corong salah satu kandidat Capres namun kemudian arah afiliasi politiknya justru berseberangan dengan yang seharusnya dia dukung – dalam koridor etika berpolitik – maka dampak yang dihasilkan justru menjadi kontra produktif dalam image bidang keilmuan komunikasi imagology. Khususnya berdampak buruk bagi para ‘pekerja penyebar informasi kebaikan’ dan penganut sikap toleransi. Ketika hal yang sangat esensial yang sesungguhnya memiliki tempat tertinggi dimata Sang Pencipta serta melekat pada semangat identitas keislaman menjadi bernilai rendah. Ketika justru sekedar digunakan untuk tujuan jangka pendek dan kepentingan posisi duniawi oleh ‘kelompok tertentu’ semata.
Dr. Zulkieflimansyah, SE, MSc saudaraku, mantan runingmate pada saat Pilkada Banten 2006 lalu tentu sedang belajar banyak dari ‘keseleo lidah’ yang dilakukannya yang mungkin ‘diduga’ tidak sadar dilakukannya – karena kedekatan emosional pada salah satu pasangan Capres yang justru bukan di-endorse oleh partainya. Saya dapat memakluminya, karena saya pikir saya cukup mengenal pria genius dibidang ekonomi dan pemasaran lulusan Stratclyde University, Scottland dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini dengan nilai kelulusan IPK 4 bulat seperti Presiden Dr. H. SBY kakak kelasku di IPB lalu. Dia sangat mencintai Islam serta menjadikan Islam sebagai nafas kehidupan diri, karir, serta keluarganya – tentulah terkait diluar ideologi Islam dalam konsep berkeluarga yang dianutnya! Ketika sayapun dimasa lalu pernah dianggap memilih langkah politik yang ‘salah’ karena faktor kemudaan usia berpolitik, lalu kemudian dipaksa oleh kelompok masyarakat tertentu agar “wajib” menyatakan/mengaku “kalah” dalam perjuangan – padahal situasi serta kondisi sebenarnya adalah sebaliknya. Maka apa yang terjadi pada aksi statement Dr. Zulkieflimansyah, SE, MSc saudaraku terkait jilbab yang kemudian dianggap kontra produktif oleh sebagian besar masyarakat Indonesia baik yang Islam maupun nasionalis, lalu juga dianggap sebagai sebuah ‘kecelakaan’ politik yang sebenarnya adalah proses pematangan karir politik dalam koridor memetik optimal lesson learn dari kejadian tersebut diatas. Bukan sekedar ingin membela Dr. Zulkieflimansyah karena pernah menjadi runningmate-nya semata, namun didalam berpolitik – bahkan seorang yang paling pakar dibidang keilmuan ini sekalipun – diyakini tidak ada satupun yang benar-benar paling betul 100%. Jadi depends on who’s point of view- lah! Demikian kurang dan lebihnya.
Membahas ukuran etika dalam berpolitik, sebenarnya sangat rapat dengan unsur nilai dan persepsi – dimana unsur-unsur ini berada dalam ‘in the same wave length.’ Sebagai manusia biasa, intelegensia kita terkait kompetensi yang walaupun sering kita anggap remain stabil namun sebenarnya tidak pernah berdiri diruang hampa. Seringkali kita terbuai, ketika sedang berada didalam aura zona nyaman kelompok elit politik tertentu. Sehingga seringkali pula kita lupa bahwa didalam balutan batas populasi tertentu, semua orang berlomba menuju tempat tertinggi, dimana pada posisi elitis tinggi banyak yang diduga pencapaian dilakukan dengan cara mengahalalkan semua cara (Machiavelli dalam Il Pricipe). Agak mengerikan memang bilamana menjadikannya sebagai ‘kebenaran keillahiahian’, namun diduga ‘dijual dengan harga murah’ bila dikaitkan dengan wilayah dimana populasi dimana kita tinggal dan hidup didominasi pimpinan asal sekelompok masyarakat ‘bergetah’ Indonesia yang lalu bermetamorfosa menjadi sesuatu yang sumir serta kontra produktif. Bahkan… pun, akhirnya terjadi juga pada seseorang yang dulunya saya pikir tidak mungkin kejadian (beyond my imagination), ketika seseorang dengan kompetensi bidang keislaman optimal setara Dr. Zulkieflimasyah, SE, MSc melakukannya. Namun empati serta doa saya tentunya untuk Akhi Zul – panggilan hormat saya untuk dia – karena walau bagaimanapun dia adalah salah seorang kader pemimpin negeri terbaik dari salah satu partai tengah-besar di Indonesia yang saya yakini tahu pasti cara meng-overcome the problem.
Maju terus Ya Akhi Zul… dirimu adalah calon pemimpin bangsa dimasa depan! Saudara sepupumu di Sumbawa Besar sana yang seusiamu sudah menjadi Gubernur dikampung halamannya sendiri. Kalau kemarin dirimu belum menjadi Gubernur di Banten karena dugaan kecurangan sistemik persis sama dengan yang tengah terjadi didalam proses Pilpres 2009 ini, mulai dari DPT palsu, penggembosan suara, penggelembungan suara, penghitungan tabulasi palsu, intimidasi, legalisasi money politics, KPUD dalam perintah tangan rezim status-quo, dan lain sebagainya (termasuk dugaan ijazah palsu oleh salah seorang kandidat dari rezim status-quo) – dimana kita semua yakin hal tersebut terjadi secara seragam dan hampir merata diseluruh Indonesia. Sebenarnya hari ini kita tinggal menunggu Sang Ratu Adil yang sebenarnya datang untuk memimpin Indonesia, yang kini dalam kacamataku telah menajdi sebuah negeri gagal! Sebuah wilayah kenegaraan yang dipimpin oleh dominasi gaya kepemimpinan ‘masyarakat bergetah.’ Asalkan kita – meminjam kata-katamu Akhi Zul sendiri – “don’t crack under the pressures.”
Insya Allah Akhi Zul, dirimu akan menjadi salah satu pilar pemegang tongkat komando menejemen kewilayahan di Indonesia dimasa depan. Mungkin menunggu usiamu seumur usiaku hari ini, agar tak perlu lagi melalui ‘slip of the tongue’ seperti ‘the head-scarf case’ semacam kemarin itu-lah! (smile)… Insya Allah, just always go for the best as usual. I trust you!
Allahu Akbar! Kita belum merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar