Segitiga Ilmu Komunikasi Edgar Dale Cone

Segitiga Ilmu Komunikasi Edgar Dale Cone
Edgar Dales Cone of Experience

Harry Maksum di Beijing, China

Harry Maksum di Beijing, China
Harry Maksum di Beijing, China

Senin, 13 Juli 2009

I Have Climbed The Great Wall

Keindahan Beijing pertama kali saya dengar dari Mbak Marissa Haque. Ia sering bercerita tentang pengalaman indahnya saat shooting sinetron Kembang Setaman 13 tahun lalu. Sinetron yang dibintangi Ferry Salim dan Ida Iasha tersebut memang mengambil setting di China, khususnya Beijing. Saat itu Mbak Icha menjadi produser di bawah bendera PT. Rana Artha Mulia perusahan miliknya. Sutradanya Enison Sinaro. Di tengah asyiknya bercerita, tiba-tiba ia berniat mengajak saya ke Beijing satu saat nanti. Mbak Icha ingin mengenang kembali saat-saat indah pembuatan sinetron tersebut. Tentu saja saya pun agak berbunga-bunga menerima ajakan tersebut. Yang langsung terbersit di dalam benak adalah saya harus menginjakkan kaki di Tembok Besar China (The Great Wall of China) yang sangat monumental, menawan, dan bersejarah.


Keingingan menginjakkan kaki di Tembok Raksasa yang di China dikenal sebagai "tembok panjang 10.000 li" ini semakin menggebu setelah mendengar cerita Mbak Menik, sekretaris pribadi Mbak Icha. Apalagi bumbu cerita Mbak Menik cukup heboh dengan kenangan saat dirinya kesengsem sama pedagang buah di Beijing yang wajahnya mirip Chow Yun Fat, aktor China yang ngganteng.

Mbak Icha memang belum sempat mewujudkan niatnya. Beliau masih sibuk dengan urusan disertasi doktor di IPB, sibuk kuliah di Magister Manajemen UGM, dan pencalegan di DPR-RI yang melelahkan karena harus masuk ke penghitungan tahap III. Akan tetapi, karena keinginan ke Beijing cukup menggebu, Allah memberi jalan lain. Program Tadabur Alam tahunan Asbisindo Jawa Barat ternyata ke Beijing, China. Kota bersejarah yang sedang maju pesat ini dipilih setelah mengalahkan Hongkong, Filipina, dan Brunei Darussalam dalam polling intern. China dipilih bisa jadi karena para pengurus asosiasi bank syariah ini ingin mengamalkan anjuran Rasulullah untuk menuntut ilmu ke negeri China.

Saat menginjakkan kaki di Tembok Besar China, saya merasa bersyukur karena diberi kesempatan melihat satu dari 7 Keajaiban Dunia. Great Wall memang memesona. Bangunan dengan ketinggian 8 meter dengan lebar 5 meter tersebut terbentang sepanjang 6.400 km (studi pemetaan terakhir menyebutkan panjangnya 8.850 km) dan melewati 9 provinsi yang membentang dari Benteng Jiayu di Provinsi Gansu Tiongkok Barat sampai pinggir Sungai Yalu Provinsi Liaoning Tiongkok Timur Laut. Usianya pun cukup fantastis. Dibuat sejak masa Dinasti Qin, di bawah Kaisar Qin Shi Huang (221-207 SM) diteruskan pada masa Dinasi Han (207 SM - 9 M) dan diselesaikan pada masa Dinasti Ming (1368-1644).

Arsitektur tembok yang sempat ditembus oleh ilusionis David Coperfield ini memang mirip naga raksasa yang meliuk-liuk di punggung pegunungan China utara. Setiap 180-270 m dibuat menara pengintai atau menara api. Tingginya berkisar 11-12 m. Tempat ini berfungsi sebagai menara pengintai musuh. Sehingga apabila musuh datang bisa dengan cepat diketahui dan dikabarkan kepada penduduk negeri dengan mengepulkan asap dari menara pengintai. Tembok Besar China memang dibuat sebagai benteng pertahanan untuk menahan serbuan bangsa Mongol dari arah utara.

Diwisuda
Tembok Besar China masih membuat kagum saya. Dengan kekokohan, kekuatan, kemegahan dan kebesarannya sulit membayangkan bagaimana membawa material ke pegunungan, menghabiskan dana berapa, dan membutuhkan tenaga berapa orang. Menurut, David Lee, guide local kami, tidak kurang dari 10.000 orang meninggal dalam pembuatan Tembok Besar. Mayatnya langsung dikubur di bawah tembok.

Sementara itu, Tour Leader kami, Henny Liauw memberi tahu bahwa kalau ada yang bisa mencapai beberapa menara api, akan diberi sertifikat sebagai bukti sudah menapaki Tembok Besar hingga ke atas. Informasi itu tentu saja membuat kami penasaran. Apalagi Pak Masduki. Dirut PT. BPRS Baiturridha yang semasa mudanya senang mendaki gunung menantang saya untuk mendapat sertifikat tersebut. Saya, Pak Masduki dan Henny pun melenggang bertiga. Namun sampai menara pengintai keempat Henny menyerah. Ia tidak bisa melanjutkan ke pos pertama. Akhirnya saya dan Pak Masduki meneruskan perjalanan hingga ke pos pertama. Memang benar, walaupun bukan sertifikat seperti cerita Henny, di sebuah kedai dijual souvenir I Have Climbed The Great Wall yang bisa menuliskan grafir nama kita. Harganya murah hanya 30 Yuan. Saya dan Pak Masduki pun langsung membeli dengan bangga. Karena dari 19 orang rombongan, hanya saya berdua dan Pak Masduki yang mencapai pos pertama tersebut. Ketika asyik berfoto ria, Henny mengirim SMS bahwa David, sudah menunggu. Akhirnya saya dan Pak Masduki mempercepat turun.

Ketika sampai di menara keempat, Henny ternyata ditemani oleh Pak Denny, suami Bu Megawati (pimpinan Bank Niaga Syariah Bandung), ketika diceritakan kita mendapat sertifikat, Pak Denny sangat berminat. Apalagi Pak Masduki memprovokasi terus. Pak Denny akhirnya naik lagi. Dan pulang membawa sertifikat (souvenir) untuk dikenang anak cucu. Kami pun mewisuda diri sendiri (bertiga) dengan memperlihatkan souvenir "bersejarah" bagi kami. Sekalipun David sudah cemberut menunggu kami yang lewat 1 jam, kami tidak peduli, yang penting kami sudah mendapat "sertifikat". Apalagi ternyata yang paling terlambat bukan hanya kami, masih ada tiga orang lagi. Saya yakin yang tiga orang itu adalah Pak Ade Salmon (Pemimpin Cabang Bank BTPN Syariah Bandung), Pak Rois (Pemimpin Cabang Bank BRI Syariah Bandung dan ternyata ikut juga Pak Alex Sulaiman (Komisaris Utama PT BPRS Islahul Ummah).


Mereka ternyata mengambil jalan kiri gerbang Great Wall Badaling yang agak curam. Namun, mereka tidak mendapatkan sertifikat (souvenir) lulus menaiki Great Wall. Prestasi puncak mereka adalah difoto di sebuah WC di menara api keempat. Rupanya yang menjadi provokator adalah Pak Ade Salmon yang terus memprovokasi Pak Rois dan Pak Alex. Padahal saat pulang Pak Rois sudah tidak berdaya. Dia mengaku lututnya gemetaran saat turun. Tapi dia merasa gengsi untuk berhenti menapaki Great Wall, karena selain Pak Ade Salmon yang memprovokasi, ada ayoyo (gadis cantik) asal Shanghai bernama Valentino yang membuat mereka tidak bisa berhenti.

Sebagai cowok maco (bukan macho) karena artinya cowok mawa cocooan (bahasa Sunda – yang artinya cowok yang membawa mainan anak-anak, karena Pak Rois paling rajin membeli mainan anak-anak), Pak Rois merasa gengsi harus kalah sama Valentino mahasiswi cantik asal Shanghai. Tapi akibatnya, selain tuur nyorodcod (lutut gemetaran) sampai di hotel, bahkan sampai di Tanah Air, pegal-pegal Pak Rois yang belakangan diberi gelar Kaisar Yun Yi masih terasa.

Ada kisah menarik seputar pemberian gelar Kaisar Yun Yi. Begini ceritanya. Di Bandung, selain tahu Bungkeng yang terkenal adalah toko tahu Yun Yi. Pak Rois yang bermata agak sipit dan tubuhnya kekar, mirip orang China berkulit hitam. Di pesawat pun setiap pramugari menyapa ramah dengan bahasa China. Di dalam bahasa Arab, arti pemimpin adalah Rois. Seperti Rois Am (ketua umum) NU. Bisa jadi Kaisar juga diberi gelar Rois kalau melancong ke Arab. Jadilah Pak Rois yang sipit ini diberi gelar Kaisar Yun Yi (mudah-mudahan toko tahu Yun Yi tidak keberatan).

Akan tetapi rombongan Pak Ade Salmon dan Pak Rois ini tidak mendapatkan "sertifikat", sertifikat yang membanggakan mereka adalah difoto di dekat WC tertinggi dan difoto bareng Valentino ayoyo (gadis cantik) asal Shanghai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar